Sabtu, 19 April 2014

Mendaki Atapnya Yogyakarta

By Belantara Indonesia



Mendaki Atapnya Yogyakarta – Gunung Merapi yang berada dalam satu garis lurus dengan Keraton Yogyakarta dan Laut Selatan memiliki peranan penting dalam masyarakat Yogyakarta khususnya dan Jawa pada umumnya. Hal ini diyakini sebagai sebuah trinitas kosmologi yang memiliki hubungan erat satu sama lain. Merapi sebagai api, Laut Selatan perlambang air, sementara Keraton adalah penyeimbangnya.



Pendakian ke puncak Merapi saat itu kami lalui lewat rute pendakian jalur sisi Utara, yaitu via Dusun Plalangan, Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Plalangan adalah dusun terakhir bila kita akan melakukan pendakian melalui jalur Selo.


Untuk mencapai Base camp Barameru kediaman pak Min, kita harus berjalan kaki melewati jalan aspal menanjak karena tak ada angkutan umum yang lewat kampung ini. Bila ingin lebih mudah kita bisa menggunakan kendaraan sendiri atau menyewa.


Sebenarnya masih ada jalur lain seperti jalur Deles ataupun Babadan. Namun, rutenya relatif lebih sulit sehingga jalur Selo menjadi favorit para pendaki hingga kini. Sementara itu, jalur Selatan via Dusun Kaliadem sudah tidak bisa dilalui pasca erupsi besar tahun 2010 silam.



Di Base camp Barameru kita bisa beristirahat dan bermalam, tak ada tarif baku, sepantasnya saja. Pendakian kali ini di temani Pemandu dari Belantara Indonesia. Bila ada pendaki yang memerlukan bantuan, pemandu tersebut bisa menjadi porter atau juga guide.


Tarif untuk porter berkisar Rp 130.000 sementara untuk guide Rp 350.000. Siapkan air secukupnya karena kita tak akan menemui mata air selama perjalanan hingga ke puncak. Jangan lupa membawa jaket bila tak ingin membeku disergap dingin udara gunung.


Lama perjalanan normal mendaki Merapi hingga puncak sekitar 5 – 6 jam. Empat hingga lima jam pertama dihabiskan melewati Base camp hingga pos 3 atau Pasar Bubrah, selanjutnya perjalanan selama sekitar satu jam dari Pasar Bubrah ke puncak.


www.belantaraindonesia.org

Perjalanan dimulai dengan tanjakan aspal hingga New Selo, selanjutnya berganti dengan jalan setapak melewati ladang tembakau dan kubis milik penduduk. Setelah berjalan selama kurang lebih 1 jam, gapura selamat datang akan menyambut.


Sekitar sejam perjalanan dari gapura melewati hutan pinus, kita akan sampai di Pos 1 Selokopo Bawah. Dari Pos 1 menuju Pos 2 Selokopo Atas memakan waktu sekitar 1,5 jam dengan medan terjal yang menguras tenaga.


Rute Pos 2 ke Pos 3 atau Pasar Bubrah relatif lebih mudah meskipun tetap dipenuhi batu. Tak ada penerangan selama perjalanan, jadi pastikan headlamp dalam kondisi prima.


www.belantaraindonesia.org

Dalam gelap, bukan berarti tak ada pemandangan yang tak bisa dinikmati. Suasana damai begitu terasa; sayup – sayup terdengar bunyi gamelan yang digelar warga, mengiringi setiap langkah menapaki kerasnya batu sisa – sisa muntahan kawah.


Angin pun tak mau ketinggalan dalam pertunjukan, disapanya pohon – pohon agar ikut bersuara, semakin menambah hawa magis Merapi. Saat berhenti sejenak untuk melepas lelah, terlihat di bawah ribuan lampu bagaikan kerajaan kunang – kunang. Cobalah menengadah ke atas, jutaan bintang memenuhi langit kelam, seperti taburan serbuk peri yang berkilauan.


Sebelum sampai di Pasar Bubrah kami berniat mendirikan tenda untuk istirahat sejenak. Dari tempat menggelar tenda ini, pemandangan rupawan yang telah kami cicipi tadi bisa lebih puas dinikmati. Seolah berada di dunia lain ketika di bawah kaki terlihat ribuan lampu kota, sedangkan mendongak ke atas para penghuni galaksi Bima Sakti tampak jelas.


www.belantaraindonesia.org

Saat mentari datang esok paginya, semua berubah. Gemerlap bintang digantikan cahaya keemasan muncul dari balik Gunung Lawu di sisi Timur, membuat tanah yang kami pijak bak permadani bersulam benang emas dari Persia. Gunung Merbabu dengan tenang duduk di sisi Utara, sementara tiga bersaudara Gunung Slamet, Sumbing dan Sindoro masih sedikit tertutup kabut di sebelah Barat bagaikan komplek piramida Giza di Mesir.


Menikmati suasana Merapi seperti ini seolah mempertanyakan keganasannya yang legendaris, sejenak lupa bahwa gunung ini pernah menelan ribuan nyawa, mengubur peradaban, mengusir Kerajaan Mataram Kuno hingga ke Timur Pulau Jawa.


Bergegas setalah cukup istirahat dan menikmati alam di lereng Merapi, kami segera menuju Pasar Bubrah. Berada di Pasar Bubrah yang 8000 tahun silam adalah kawah Merapi. Rute penuh pasir dan batu menjadi pilihan satu – satunya, tak ada jalan lain.


www.belantaraindonesia.org

Pasir dan kerikil tak cukup kuat menahan pijakan, menarik kaki untuk terus – terusan merosot. Magma beku dari erupsi terakhir juga masih terlalu labil hingga harus ekstra hati – hati memilih batu yang tepat, memaksa kita harus merangkak untuk bisa maju selangkah demi selangkah.


Setelah sekitar 1 jam, bau belerang menghampiri hidung kami. Berdiri di bibir kawah dari gunung paling aktif di negeri ini tentu sebuah pengalaman tak terlupa, 2914 meter tingginya dari permukaan laut. Pemandangan dari sini tak kalah spektakuler, sehingga perjalanan penuh perjuangan serasa tak berbekas, hilang entah ditelan siapa. Kami sudah di Puncak Kandang Geni Gunung Merapi.


Puncak Merapi ini juga merupakan spot favorit para pendaki untuk menikmati sunrise. Hanya saja, tempat yang sempit dan curam menyulitkan para pemburu gambar untuk bisa berpindah – pindah mencari sudut terbaik, apalagi untuk meletakkan tripod.


www.belantaraindonesia.org

Sebelum siang datang, kami segera turun. Perjalanan pulang ke base camp memakan waktu sekitar 4 jam. Disinari cahaya Matahari, terlihat lahan penduduk di lereng gunung. Kawasan ini adalah daerah subur berkat abu vulkanik yang rutin dikeluarkan kawah Merapi.


Sesungguhnya Merapi tak pernah marah; dia hanya menyeimbangkan diri, membagi apa yang dimilikinya untuk alam di sekitarnya.


Source: Belantara Indonesia


    





Mendaki Atapnya Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar