Sabtu, 05 April 2014

Berhaji Di Gunung Lompobattang

By Belantara Indonesia



Suasana sepi senyap di Puncak Gunung Lompobattang di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, berubah menjadi ramai. Sekelompok orang tampak memadati puncak yang memiliki ketinggian 2.691 meter di atas permukaan laut ini. Sebuah pemandangan yang tidak seperti hari – hari biasa yang selalu sepi.



Tetapi, ada yang lain dari sekumpulan orang ini. Mereka tampak duduk bersila secara teratur layaknya tengah menunggu pelaksanaan salat berjemaah. Dengan khusyuk, mereka juga mengumandangkan takbir dan tahmid. Mereka adalah para jemaah yang akan menjalani salat Idul Adha.


Sebuah tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun sebagian masyarakat Bugis. Bagi mereka, ini juga menjadi bagian dari kegiatan spiritual layaknya perjalanan ibadah haji ke Tanah Suci.


Bagi masyarakat Bugis, Gunung Lompobattang dan Bawakaraeng diyakini sebagai dua gunung suci seperti Mekah dan Madinah, dua kota yang menjadi tujuan para jemaah haji di Arab Saudi. Mereka menyebut kedua gunung ini sebagai “Buta ka Siasia” atau Tanah Miskin. Sebab, kedua gunung tersebut hanya diperuntukkan bagi mereka yang miskin dan tak mampu membiayai perjalanan haji ke Tanah Suci.


Mereka meyakini bahwa nilai pahala yang diperoleh melalui salat Idul Adha di puncak salah satu gunung ini sama besarnya beribadah haji di Mekah. Sayangnya, tak ada yang mengetahui secara pasti sejak kapan pelaksanaan ibadah haji tradisional ini dilakukan.


Memang ganjil. Tapi, hampir setiap tahun menjelang Idul Adha, sebagian warga Bugis kerap melakukan perjalanan tersebut. Daeng Cacuk, warga Desa Cicorok, Kecamatan Malakaji, Kabupaten Gowa, misalnya. Bersama isteri dan kedua anaknya, Daeng Cacuk menjalani ritual ini.


Bukit demi bukit mereka telusuri. Semak belukar mereka sibak tanpa menunjukkan rasa lelah sedikit pun. Cuaca pegunungan yang teramat dingin dengan suhu mencapai sekitar lima derajat Celsius juga tak menjadi halangan.



Namun, sesekali mereka berhenti untuk sekadar beristirahat sejenak dan melaksanakan salat. Meski terasa berat, perjalanan ke puncak Gunung Bawakaraeng dan Lompobattang ini dinilai akan lebih mempermudah untuk melangkah dalam pelaksanaan haji yang sebenarnya suatu saat kelak.


Pemerintah setempat sebenarnya telah melarang pelaksanaan ibadah haji di kedua gunung ini. Selain menyalahi aturan agama Islam, medan yang ditempuh sangat berat dan berbahaya. Tak heran, beberapa jalur yang biasa dilewati para jemaah ditutup dan selalu dijaga aparat keamanan setempat.


Tetapi, itu bukan menjadi halangan para jemaah. Jalur – jalur tikus yang justru lebih berbahaya pun dibuat. Padahal, sulitnya medan nan berbahaya ini kerap menimbulkan korban luka atau meninggal dunia. Hingga 2004 sedikit 29 orang tewas.


Sebagian besar meninggal dunia akibat hypothermia, serangan penyakit yang disebabkan udara dingin. Tetapi, ada pula yang tewas karena terjatuh saat melewati medan yang terjal. Itulah sebabnya, perjalanan para jemaah beberapa tahun terakhir ini mendapat kawalan dari Tim Search and Rescue Universitas Hasanuddin.


Tapi, semangat yang tinggi membuat para jemaah bersikeras tetap melakukan ibadah di puncak gunung. Dengan semangat ini pula Daeng Cacuk dan jemaah lainnya yang kerap lolos dari pengawasan penjaga hutan hingga akhirnya berkumpul di Kokbange, kawasan berketinggian 2.870 meter di atas permukaan laut.


Tempat ini juga disebut “Butta Lompoah” atau tanah kebesaran dan dianggap mempunyai keberkahan yang sama dengan Madinah. Sebuah batu nisan yang dianggap sebagai kuburan Syekh Yusuf, seorang Wali Allah dan pejuang Islam terkenal dari Tanah Sulawesi ini juga diibaratkan sebagai makam Nabi Muhammad SAW di Madinah.


Tempat akhir dari perjalanan berat ini telah sampai. Dengan perlengkapan seadanya, para jemaah mulai bebenah diri. Saat malam tiba, jemaah mulai menyiapkan diri menghadapi hawa malam yang kian dingin nyaris mencapai titik beku. Sebagian jemaah membuat api unggun. Sementara yang lainnya menyiapkan sebuah karung dan tenda plastik untuk menghangatkan diri mereka saat tidur malam hari.


Malam pun berlalu. Mentari pagi menyeruak di ufuk timur menandai datangnya hari Idul Adha. Sama halnya dengan seluruh umat Islam di seluruh dunia untuk melaksanakan salat Idul Adha dan saat para jemaah haji melaksanakan wukuf di Arafah.


Di Kokbange, di puncak Gunung Lompobattang para peziarah tampak pula bersiap – siap untuk melaksanakan salat sunah seraya menahan udara dingin yang terasa menusuk tulang. Takbir dan tahmid mulai dikumandangkan menguak keheningan pagi di Kokbange.


Tapi, ada sedikit kebingungan terjadi saat para jemaah harus menentukan siapa yang akan menjadi imam. Umumnya mereka tak saling kenal sehingga tak tahu siapa yang paling pantas menjadi pemimpin salat berjamaah. Tetapi, kebingungan tersebut tak berlangsung lama.


Salah seorang dari jemaah disepakati untuk tampil menjadi imam. Salat Idul Adha di atas gunung keramat akhirnya dapat digelar. Selain para jemaah, beberapa orang dari Tim SAR Unhas juga ikut bergabung menjadi makmum.


Upacara tak berhenti sampai di sini. Usai melaksanakan salat, seorang jemaah melakukan ritual korban. Tapi, hewan yang dikorbankan bukan kambing atau sapi, melainkan seekor ayam. Sementara beberapa jemaah ada yang menyusuri sejumlah tempat yang dianggap keramat, termasuk kawasan yang disebut padang Arafah.


Di sini terdapat batu aras atau arsy yang diyakini sebagai tempat berkumpulmnya para malaikat dan para wali Allah SWT. Di tempat inilah, mereka memanjatkan doa. Sebagian jemaah ada juga yang berniat untuk melewati jembatan Siratal Mustakim, berupa sebuah bukit yang menghubungkan Gunung Lompobattang dan Bawakaraeng. Tapi, tebalnya kabut membuat rencana ini dibatalkan.


Anehnya, di tengah perjalanan, tiba – tiba muncul dua orang yang menyebut dirinya Haji Koni dan Yusuf. Keduanya mengaku telah tujuh kali naik ke puncak Gunung Bawakaraeng dan Lompobatang. Singkat cerita kedua orang ini berhasil menarik simpati para jemaah. Kedua orang itu akhirnya diminta untuk mendoakan permintaan jemaah.


Uniknya, para jemaah diminta mengumpulkan uang untuk didoakan. Setelah didoakan uang yang telah terkumpul itu dikembalikan kepada para pemiliknya masing – masing. Para jemaah berharap rezeki mereka akan datang berlimpah sehingga mempunyai cukup uang untuk dijadikan bekal menuju Tanah Suci dalam rangka menunaikan ibadah haji yang sebenarnya. src


Source: Belantara Indonesia


    





Berhaji Di Gunung Lompobattang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar