Sabtu, 22 Maret 2014

Sejarah Warung Angkringan Di Jogjakarta

By Belantara Indonesia



Warung Angkringan adalah semacam warung untuk tempat nongkrong, ngobrol dan makan yang biasanya memakai tutup kain terpal plastik dengan warna khas, biru atau oranye mencolok. Anda akan banyak menjumpai warung – warung ini di daerah Jogja, Jawa dan sekitarnya.



Pada umumnya, kapasitas dari angkringan itu sekitar 8 orang pembeli, namun seiring dengan perkembangan zaman kini sudah banya angkringan yang melebarkan tempatnya. Bahkan banyak juga di daerah Jogja yang terdapat angkringan selengkap cafe.


Angkringan beroperasi mulai sore hari sampai dini hari. Namun kini ada juga yang mulai buka siang hari. Pada malam hari, angkringan mengandalkan penerangan tradisional senter dibantu terangnya lampu jalan.


Meski sering dicap sebagai warung rendahan, pada kenyataannya konsumen angkringan terdiri dari berbagai kalangan. Mulai dari tukang becak, anak – anak perantauan, mahasiswa, budayawan dan seniman, karyawan hingga eksekutif kadang tak sungkan menghabiskan malam untuk menyantap makanan dan minum teh jahe ( menu andalan angkringan ) di Angkringan.



Sejarah angkringan di Jogja merupakan sebuah romantisme perjuangan menaklukkan kemiskinan. Angkringan di Jogjakarta dipelopori oleh seorang pendatang dari Cawas, Klaten bernama Mbah Pairo pada tahun 1950 – an.


Cawas yang secara adminstratif termasuk wilayah Klaten Jawa Tengah merupakan daerah tandus terutama di musim kemarau. Tidak adanya lahan subur yang bisa diandalkan untuk menyambung hidup, membuat Mbah Pairo mengadu nasib ke kota. Ya, ke sini, ke Jogjakarta.


Mbah Pairo bisa disebut pionir angkringan di Jogjakarta. Usaha angkringan Mbah Pairo ini kemudian diwarisi oleh Lik Man, putra Mbah Pairo sekitar tahun 1969. Lik Man yang kini menempati sebelah utara Stasiun Tugu sempat beberapa kali berpindah lokasi.


Seiring bergulirnya waktu, lambat laun bisnis ini kemudian menjamur hingga pada saat ini sangat mudah menemukan angkringan di setiap sudut Kota Jogja. Angkringan Lik Man pun konon menjadi yang paling dikenal di seluruh Jogja, bahkan di luar Jogja.


Berbeda dengan angkringan saat ini yang memakai gerobak, diawal kemunculannya angkringan menggunakan pikulan sebagai alat sekaligus center of interest. Bertempat di Emplasemen Stasiun Tugu Mbah Pairo menggelar dagangannya.


Pada masa Mbah Pairo berjualan, angkringan dikenal dengan sebutan ting – ting hik ( baca: hek ). Hal ini disebabkan karena penjualnya berteriak “Hiiik…iyeek” ketika menjajakan dagangan mereka. Istilah hik sering diartikan sebagai Hidangan Istimewa Kampung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar