Senin, 17 Februari 2014

Antara Kelud Dan Mbah Rono

By Belantara Indonesia



Kalau Kelud meletus lagi, semoga saat itu saya tidak lagi menjadi Kepala PVMBG,” kata Surono di kawah Kelud, Jawa Timur, 4 November 2011. “Saya tidak bisa membayangkan bagaimana letusan Kelud ke depan.” Ucapan Surono itu kembali melintasi pedalaman kepala begitu Kelud kembali menggeliat sejak beberapa hari terakhir.



Pagi itu gerimis, kami menuruni tangga menuju bekas danau kawah Kelud yang telah menghilang. Mbah Rono lalu berdiri di kaki kubah lava yang masih menguarkan bau belerang. Rautnya gelisah. “Peta KRB ( Kawasan Rawan Bencana ) Kelud harus sudah diubah,” katanya.


Saat itulah dia kemudian menyampaikan rasa jeri pada letusan Kelud di masa mendatang. Ketika Kelud akhirnya meletus pada Kamis 13 Februari 2014 malam lalu, Surono memang telah berhenti sebagai Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ( PVMBG ). Namun, dia ternyata tidak bisa lepas dari Kelud karena pada Jumat 14 februari 2014 pagi, Surono justru dilantik menjadi Kepala Badan Geologi Kementerian yang membawahi PVMBG.


Kelud memang spesial bagi Surono atau biasa di sapa Mbah Rono. Gunung ini ibarat kawah candradimuka, yang menggodok kepakarannya soal gunung api. Kelud mengantarkan Surono meraih gelar master dan doktor dari Université Joseph Fourier, Grenoble, Perancis, karena penelitiannya tentang instrumen akustik untuk memantau kondisi Kelud saat gunung itu meletus pada tahun 1990.


Selama ratusan tahun, Kelud dikenal memiliki letusan freatik ( phreatic ) karena keberadaan danau kawahnya. Letusan ini dipicu oleh masuknya air danau ke kantong magma yang bersuhu sekitar 1.000 derajat.


Persentuhan air danau dan magma ini kemudian memicu munculnya uap panas yang segera menjebol sumbat, melontarkan debu, bebatuan, bom gunung api, hingga air. Paduan material padat dan air danau ini menciptakan lahar letusan yang secara historis menimbulkan korban dan kerusakan besar di sepanjang Sungai Brantas, dan sungai lain yang berhulu di Kelud.


Teks Sanskerta, berjudul “Goentoer Pabanjoepinda” yang ditulis pada tahun 1334 dan dikutip oleh geolog dari Museum Geologi Bandung, Indyo Pratomo dalam disertasinya, Etude de l’éruption de 1990 du volcan Kelud ( 1992 ), menggambarkan karakter letusan Kelud di masa lalu itu, “…. Bumi mengguncang, uap panas dimuntahkan dari gunung api dan banyak abu jatuh, gemuruh guntur, petir besar – besar…, muntahan lahar segera tiba kemudian….”


Selama lebih dari 1.000 tahun, upaya mengatasi letusan Kelud lebih terfokus pada muntahan lahar ini. Bahkan, istilah lahar, yang kemudian dipakai dalam term vulkanologi secara global, berasal dari fenomena Kelud ini.


Upaya pertama dan tertua yang tercatat dalam sejarah untuk mengatasi lahar Kelud adalah pembangunan sudetan dari Sungai Konto ke Sungai Harinjing atau sekarang dikenal sebagai Sungai Serinjing di Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kediri.


Prasasti Harinjing atau juga disebut Sukabumi yang ditemukan di sekitar Desa Siman mencatat upaya itu. Prasasti dengan angka tahun 921 Masehi ini diperkirakan dibuat pada era pemerintahan Tulodong, memuat informasi tentang pembangunan bendungan ( mula dawuhan ) dan saluran sungai ( dharmma kali ) yang keduanya dibangun tahun 804 Masehi. Kanal buatan ini saat ini dikenal sebagai Sungai Harinjing, sekarang bernama Sungai Serinjing.


Boomgaard dalam A World of Water: Rain, Rivers, and Seas in Southeast Asian Histories ( 2007 ) menyebutkan, bendungan dan saluran sungai itu kemungkinan terhubung dengan sebuah candi. Menurutnya, rencana besar penyaluran air tersebut sebagai salah satu strategi besar mengendalikan air dan mengurangi dampak bencana.


Pada era Belanda, upaya untuk mengendalikan letusan Kelud dilakukan dengan merekayasa danau kawahnya. Saat Kelud meletus pada 1919, volume air danau kawah saat itu mencapai 40 juta meter kubik. Jarak luncur lahar letusan saat itu mencapai 37,5 kilometer dan jumlah korban tewas mencapai 5.110 jiwa.


Dengan berpatokan bahwa ancaman Kelud membesar seiring dengan besarnya volume air kawah, Belanda berupaya membuat saluran air guna mengurangi volume danau itu.


Kusumadinata ( 1979 ) mencatat, pada 11 Juli 1907, Belanda berupaya membuat saluran air di lereng barat Kelud. Dampaknya, tinggi muka air kawah turun 7,4 meter dan isi air berkurang 4,3 juta meter kubik. Pada tahun 1919, penggalian terowongan dilanjutkan. Air dari terowongan rencananya akan dialirkan ke arah Kali Bladak atau sering disebut Kali Badak.


Namun, pekerjaan terhenti karena terowongan ini runtuh. Pembuatan terowongan dimulai lagi pada 1923 dengan menggali 7 terowongan pembuangan utama dan beberapa saluran sekunder. Pembangunan ini sukses mengurangi volume air danau dari 40 juta meter kubik menjadi hanya 1,8 juta meter kubik.


Seluruh terowongan itu rusak dan tersumbat saat Kelud meletus tahun 1951. Garis tengah danau yang semula 500 meter menjadi 700 meter, volume air danau pun bertambah menjadi 23,1 juta meter kubik. Pada tahun 1953, pekerjaan perbaikan terowongan kembali dimulai dan selesai pada tahun 1955. Tahun 1966 dibangun terowongan Ampera sepanjang 20 meter. Dengan terowongan Ampera, volume air danau menjadi 4,3 juta meter kubik.


Namun, pada akhir 2007, raut Kelud berubah total. Danau kawah Kelud yang jadi ciri khas gunung ini dan diperkirakan telah berusia 2.400 tahun itu menghilang. Kelud pun sudah tidak bisa disebut ‘kelud’—PVMBG menyebutnya Kelut. Tidak ada lagi danau kawah yang menyapu saat letusan.


Nama Kelud—dalam bahasa Jawa sapu—dilekatkan ke gunung api ini karena saat meletus menyemburkan lahar letusan, lalu menyapu desa – desa di lerengnya.


Perubahan karakter, bahkan identitas gunung ini, telah membuka masalah baru. Sebelumnya, PVMBG menggunakan perubahan suhu dan warna air danau Kelud untuk memantau aktivitas gunung ini, karena gunung ini juga irit mengirim gempa saat krisis. “Kami harus memikirkan cara lain untuk memantau Kelud karena danaunya sudah diganti kubah lava,” kata Surono kala itu.


Kubah batu yang menyumbat kawah Kelud inilah yang menakutkan Surono saat menemani perjalanan tim Ekspedisi Cincin Api Kompas dua tahun silam. “Sulit membayangkan jika kubah lava ini terlontar seketika saat Kelud meletus karena energi letusan Kelud yang sangat eksplosif,” katanya. Skenario terburuk bisa saja terjadi jika aliran magma tak kuat menjebol sumbat lava, lalu menjebol titik lemah lain di lereng Kelud, di dekat permukiman.


Untung saja skenario terburuk itu tak terjadi. Daya eksplosif Kelud berhasil membongkar kubah batu dan meontarkannya menjadi hujan batu kerikil, hingga abu yang memenuhi hampir seluruh Pulau Jawa.


Selain itu, Keputusan Kepala PVMBG Hendrasto untuk mengosongkan kawasan dalam radius 10 km dari kawah Kelud sebelum Kelud meletus layak diacungi jempol. Keputusan itu tentu tak gampang dibuat mengingat pada 2007, PVMBG pernah mengevakuasi warga di sekitar Kelud hingga berbulan – bulan, namun gunung ini kemudian tak meletus eksplosif sehingga banyak pihak yang mencibir keputusan itu.


Surono pernah merasakan pahitnya cibiran saat dia mengevakuasi warga, termasuk seluruh stafnya dari Pos Pemantauan Kelud pada 2007.


Nyaris saja! Selain perubahan karakter Kelud yang berubah tak gampang terbaca, alat – alat pemantauan gunung api Indonesia sebenarnya masih sangat minim. Dari 127 gunung api, baru separuhnya yang dipantau intensif. Surono mengibaratkan proses pemantauan gunung api di Indonesia seperti menaruh anak kecil di pinggir kolam. “Kalau kita lengah, pasti masuk kolam. Kalau selamat, bisa dibilang karena kebetulan,” katanya Surono.


Letusan Kelud kali ini sekali lagi mengajarkan pentingnya menyadari posisi Nusantara yang dilingkari Cincin Api, yang menuntut kita untuk terus bersiaga. Apalagi, karakter dan sifat gunung juga bisa berubah. Gunung api adalah organisme Bumi yang hidup.


Mereka lahir, tumbuh, tertidur, mati, lalu terbangun, dan meletus. Gunung api terus berevolusi. Begitu pula seharusnya kita yang hidup di sekelilingnya...src


Source: Belantara Indonesia


    





Antara Kelud Dan Mbah Rono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar