Rabu, 14 Mei 2014

Mengenal Clara Sumarwati Lebih Dekat

By Belantara Indonesia


Banyak pendaki gunung ternama memulai petualangannya sejak masih belia, taruhlah, sejak SMA atau di bangku kuliah, tapi tidak demikian dengan Clara. “Banyak yang menyangka, saya dulunya anak MAPALA atau apalah yang berbau gunung,” ujarnya tertawa. Padahal, ketika kuliah di Unika Atmajaya Jakarta, Clara adalah wanita kalem yang tak suka keluyuran, apalagi naik gunung.




Clara Di Everest
Tapi rupanya Clara cukup rajin mengamati berita – berita tentang pecinta alam ( baca: pendaki gunung ) yang keluar dari rel. ‘Saya dengar banyak yang tidak konsisten pada misi mencintai alam. Lebih dari itu, nafsu mendaki tanpa disertai kesabaran dan bekal yang cukup membuat banyak pendaki malah mengalami nasib naas di gunung,” paparnya lancar.


Rentetan berita tentang pendaki yang hilang, terjatuh dan mati sering membuatnya prihatin. Lambat laun mulai mempengaruhi jiwanya.


Baarangkali termasuk terlambat. Tapi karena sudah lulus kuliah dari Fakultas Psikologi, tahun 1990 Clara mendaftarkan diri pada kelompok pendaki gunung Putri Patria. Tes masuk yang cukup berat, ia bersaing dengan orang – orang yang sudah tahunan mendaki gunung di hadapan Clara dengan ngos – ngosan.


Tapi setelah bergabung, tak pelak lagi, Clara mulai terhitung pendaki gunung yang tangguh menjajal gunung – gunung kelas kakap dunia. Sejak tahun 1990, Clara telah menggapai antara lain Gunung Gede, Gunung Pangrango, Gunung Rinjani, Gunung Soekarno di Irian Jaya, Annapurna IV di Nepal, Aconcagua ( 1993 ), dan Everest.


Seabrek cerita tentang beratnya latihan ( fisik dan mental ) lantas meluncur dari wanita yang bicaranya masih kental dengan aksen Jawa ini. “Digenjot fisik di Senayan, latihan mental di Gede – Pangrango. Pokoknya, selama di Indonesia saya jalani latihan sangat berat sebelum mendaki ke luar negeri,” ungkapnya bersemangat.




Clara Di Nepal
Ini membuat posturnya memang jadi perkasa. “Rekan – rekan dan pelatih saya kebanyakan pria. Tak masalah, soalnya saya bisa mengimbangi mereka. Tuturnya kalem. Buktinya pada pendakian Everest tahun 1994 ( yang akhirnya gagal ) Clara tidak kalah dari pria – pria kuat dari Angkatan Darat.


Memang lebih enak mendaki dengan pria,” katanya tersenyum penuh arti. “Mereka lebih rasional dan logikanya tetap stabil berjalan, meski didera tantangan alam yang maha berat saat mendaki. Kalau wanita lebih emosional. Kebayangkan, dalam kondisi berat begitu lantas timbul percekcokan. Ini bisa jadi penyebab kegagalan,” katanya serius.


Bicara tentang kiprahnya sebagai pendaki gunung, Clara mengaku banyak dipengaruhi kecintaannya pada alam sejak kecil.


Lahir dan dibesarkan di Yogyakarta, sejak kecil Clara, anak ke enam dari delapan bersaudara ini sering diajak ayahnya seorang guru, berpiknik bersama. “Ayah saya tidak mengajak ke tempat – tempat perbelanjaan seperti anak – anak zaman sekarang.


Kami dibawa ke pantai, naik kapal mengarungi laut, kadang ke gunung. Disana beliau banyak cerita. Ya kecintaan saya pada alam memang sudah terpupuk sejak kecil,” papar Clara yang kini tinggal di Mantrijeron Yogyakarta.





www.belantaraindonesia.org
Clara Di Puncak Aconcagua
Tambahan lagi, Clara bukan gadis kecil yang manis dengan mainan boneka dan pernak – pernik wanita, mainannya justru kelereng, layangan dan ketepel! “Tiap sore saya selalu memanjat pohon tinggi dan menikmati angin di situ,” Clara tersenyum kecil.


Namun semua itu tidak menghasilkan sesuatu yang ekstrem, seperti jadi tomboy sejati atau petualang. “Tidak, saya tetap seorang yang mengikuti garis aturan keluarga. Kenakalan saya sejak kecil meluntur seiring bertambahnya usia. Makin besar, meskipun kecintaan pada alam tetap besar, saya mulai menjauh dari interaksi langsung dengan alam,” katanya lagi. Sampai akhirnya ia hijrah ke Jakarta, kuliah di Atmajaya, lantas terantuk kembali pada hasratnya sejak masa kanak – kanak.


Bagaimana tanggapan keluarga terhadap profesi Clara yang cenderung riskan untuk wanita ini? Sambil menghela nafas panjang ia berujar, “Sedih Ibu saya sempat terpukul. Siapa sih yang ingin anak perempuannya naik turun gunung dengan taruhan nyawa?” Namun dengan berbagai cara untuk meyakinkan ibunya, restu itu keluar juga.


Saya katakan pada Ibu, buat saya mendaki gunung bukan untuk berpetualang. Saya memiliki maksud terndiri. Ingin tahu bagaimana mendakinya, dan menurunkan ilmu mendaki pada orang lain,” katanya.




www.belantaraindonesia.org
Clara Di Everest
Sang Ibu pulalah yang akhirnya dengan mengharu biru’ mendampingi putrinya menerima penghargaan dari Presiden Soeharto. “Sekarang ia bangga pada saya,” ucap Clara berbinar.


Apa Sih Yang Dicari Clara?

Sementara banyak wanita masa kini berbondong – bondong memacu diri dalam aneka potensi bergengsi, Clara malah berkutat dengan gunung. Bagi Clara bersahabat dengan alam, termasuk melakukan pendakian, bukanlah semata untuk memenuhi kepuasan pribadi. “Alam mengajarkan banyak hal panting buat manusia,” katanya berfalsafah.


Bukan hanya menguji keperkasaan fisik yang disebut Clara sebagal bumerang yang sering menggagalkan upaya para pendaki, tapi lebih pada ujian mental, melatih ketekunan, kecekatan, serta kemampuan berpikir seseorang.


Banyak orang yang berasumsi bahwa pendaki identik dengan ujian kekuatan fisik,” ujar Clara. “Itu benar. Tapi fisik hanyalah faktor pendukung. Banyak sekali pendaki yang hanya mengandalkan kekuatan fisik semata. Ia berupaya dengan nafsu mendaki sampai di puncak, kadangkala tidak disertai rasio. Banyak yang berhasil sampai puncak, tapi banyak juga yang bernasib naas. Yang seharusnya fisik mereka tidak memungkinkan atau cuaca jelas – jelas tidak mendukung, ya, diterjang juga. Padahal alam itu tidak bisa di lawan,” mimiknya tampak serius.




www.belantaraindonesia.org
Clara Di Mantrijeron Yogyakarta
Sedangkan bagi Clara, “Saya hanya melatih diri sendiri, tanpa punya maksud mencari kejayaan. Dalam banyak pendakian sering saya mengalahkan ego untuk buru – buru sampai di puncak. Saya lihat kondisi cuaca, diri sendiri dan juga keselamatan orang lain seperti rekan dalam tim, sherpa, pengangkut dan lain – lain. Pendeknya, saya mendaki dengan rasio. “


Pada akhirnya puncak gunungbukanlah tujuan satu – satunya, justru kepuasan melewati proses sulit dan memperoleh ‘ilmu’ dari alam. Itulah sebabnya Clara tak berambisi mencari tantangan dan tantangan lagi, “Sesuai komitmen saya, hanya ingin tahu dan belajar,” cetusnya cepat.


Lantas untuk apa semua itu ia jalani, kalau pada akhirnya hanya keingintahuannya yang sudah terpenuhi? Rupanya Clara punya rencana besar.



Sebagai manusia dan wanita, saya tentunya tak Ingin terbelenggu hobi yang satu ini. Rasional saja. Saya Ingin punya pekerjaan yang bisa menjamin hidup saya. Namun saya tetap memanfaatkan background saya sebagai psikolog dan pendaki gunung,” ucapnya pasti. ( Dokumentasi Clara Sumarwati )

Source: Belantara Indonesia


    




Mengenal Clara Sumarwati Lebih Dekat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar