Thank God, I’m Indonesian. Setidaknya ada 3 negara yang kini sedang diguncang krisis politik yang sangat parah, diwarnai kekerasan, korban jiwa, dan deadlock tanpa ada jalan keluar. Malam kemarin, Ukraina, sebuah negara terbesar pecahan Uni Sovyet yang sebenarnya cukup makmur, mulai ‘keluar’ dari kemelut politik setelah presiden ViktorYanukovych terpaksa melarikan diri setelah tak lagi mampu mempertahankan kekuasaannya dari tekanan oposisi yang begitu hebat hingga memakan hampir seratus korban jiwa. Yanukovych sendiri terpilih menjadi presiden melalui pemilu pada tahun 2010.
Ukraina tak pernah lepas dari kemelut politik sejak negeri itu memilih memisahkan diri dari Uni Sovyet pada 1991, dan mudah dipahami sebabnya, yakni pertarungan pengaruh antara Barat ( Uni Eropa ) dengan Russia, yang ada di sebelah timur negara tersebut.
Selain itu, pertarungan ‘kemauan’ juga terjadi di level bawah, banyak rakyat Ukraina ( yang berbahasa Ukraina ) terutama di bagian utara – barat – tengah negeri tersebut, lebih menginginkan untuk ikut ke blok ekonomi maju yang lebih maju, yakni Uni Eropa.
Sementara, banyak rakyat Ukraina yang berbahasa Russia ( di bagian selatan dan timur ) yang menginginkan Ukraina berdiri sendiri,lepas dari barat atau pengaruh Russia, atau yang menginginkan Ukraina tetap condong ke Russia, karena persamaan latar belakang budaya dan etnis.
Negara yang kedua adalah Mesir. Negeri yang baru belajar berdemokrasi dan sukses menjalankan pemilu pada 2012 tersebut, kini tercabik – cabik. Mohammed Morsy yang secara sah menang mutlak dan terpilih menjadi presiden lewat pemilu yang dikatakan adil pun, disingkirkan secara dramatis oleh militer yang ( mengklaim ) didukung sebagian besar rakyat.
Tragedi tak cukup di situ, ratusan orang menjadi tumbal pertikaian politik tersebut, dilanjutkan dengan penangkapan dan pemenjaraan Morsy, para petinggi dan pendukung Ikhwanul Muslimin. Sang pelaku kudeta, jenderal angkatan darat Mesir, Jenderal Abdel Fattah al – Sisi pun kini bersiap menjadi capres, ditengah cercaan dan cibiran banyak orang. Entah, bagaimana nasib Mesir ke depan..
Photo Credit |
Negeri yang ketiga adalah Thailand. Tetangga dekat Indonesia ini tak pernah lepas dari perebutan kekuasaan sejak PM Thanksin Sinawatra digulingkan militer pada 2006. Dan sejak itu, perdana menteri di negeri Krating Daeng tersebut silih berganti diisi oleh tokoh dari dua pihak yang selalu berseteru, dari kelompok ‘Merah’ yang pro pada Thaksin, dan kelompok ‘Kuning’ yang pro pada raja ( dan militer ).
Perseteruan itu berlangsung hingga kini di era PM Yingluck Sinawatra, ratusan orang sudah menjadi korban, dan menjauhkan Thailand dari menumbuhkan sektor – sektor lain, terutama ekonominya.
Untunglah, meski juga belum sempurna, tapi demokrasi di Indonesia sudah berfungsi dengan cukup baik, dan kini menjadi negara paling terbuka dan paling demokratis di kawasan. Dulu, Indonesia diprediksi akan menjadi seperti Uni Sovyet, Yugoslavia, atau Czechoslovakia, yang terpecah belah.
Prediksi itu tidak terbukti, dan diakui atau tidak, inilah ‘buah manis‘ pertama program desentralisasi ( lewat otonomi daerah ) yang dicanangkan pada 1999, setahun setelah Soeharto diturunkan. Dengan program desentralisasi, daerah – daerah akan punya wewenang mengembangkan kemampuan daerahnya, pun mendapatkan identitas – identitas khas daerahnya , sesuatu yang tak mungkin terjadi di era sentralistik orde baru.
Yang tak kalah penting, adalah kesuksesan Indonesia ‘mengembalikan’ militer ke barak mereka, sangat kontras dengan apa yang kini terjadi di Mesir. Ketika pak Harto jatuh, banyak pengamat dunia yang memprediksi bahwa militer akan segera mengambil alih pemerintahan, apalagi waktu itu hampir separuh kepada daerah di seluruh Indonesia berasal dari militer, baik aktif maupun purnawirawan.
Ternyata, reformasi turut berhempus di tubuh militer Indonesia, dan mereka benar telah kembali ke barak – baraknya. Sebuah proses yang cukup cepat kala itu.
Pemilihan langsung juga berlangsung secara masif di seluruh negeri, berlangsung dengan damai ( meski tentu ada bercak – bercak di sana sini ), namun makin kesini makin terlihat bahwa kita makin dewasa berpolitik. Pihak yang kalah tak pernah berupaya mengerahkan massa untuk menolak hasil pemilihan, mereka cukup menyalurkan ketidaksetujuannya lewat jalur hukum.
Pilihan Gubernur Bali 2013 adalah contoh yang sangat gamblang tentang kedewasaan politik. Incumbent Gubernur I Made Pastika memenangkan pilgub dengan selisih kurang dari 1000 suara! Pun begitu, sang penantang, yakni Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga, sangat legowo menerima putusan akhir di MK. Bayangkan kalau hal ini terjadi di Mesir, Thailand atau Ukraina.
Demokrasi di Indonesia kini jauh lebih stabil, rakyat makin ‘malas’ ribut – ribut soal politik, dan sudah menjadi darah daging ( dan DNA ) Indonesia. Tentu masih banyak tantangan, hambatan, dan kekurangan. Namun, mengingat bahwa demokrasi dan keterbukaan ini baru berumur 15 tahun, apa yang kita punya saat ini adalah sebuah pencapaian yang perlu kita sadari dan apresiasi.
Seorang kawan saya yang orang Thailand belum lama ini memasang status di BBM – nya, “Can we replicate Indonesian democracy?” atau “Bisakah kita ( Thailand ) meniru demokrasi Indonesia?”.
Indonesia adalah rumah kita, banyak kurangnya, namun ternyata bahkan dalam ketidaksempurnaan ini, banyak yang ingin ‘menjadi’ kita. Thank God, I’m Indonesian. goodnewsfromindonesia
Source: Belantara Indonesia
Thank God, I'm Indonesian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar