Mendaki Gunung adalah sebuah kegiatan yang termasuk dalam kategori olahraga. Hanya saja, kegiatan tersebut dilakukan di tengah alam terbuka yang liar, jalanan yang tentunya ekstrim. Dari hal itu bisa di simpulkan bahwa lingkungan mendaki gunung sesungguhnya bukan habitat manusia.
Property Fitri |
Sebagai contoh, Badan SAR Nasional mendata bahwa dari bulan Januari 1998 sampai dengan April 2001 tercatat 47 korban pendakian gunung di Indonesia yang terdiri dari 10 orang meninggal, 8 orang hilang, 29 orang selamat, 2 orang luka berat dan 1 orang luka ringan, dari seluruh pendakian yang tercatat.
Data lain, sejak tahun 1969 sampai 2001, Gunung Gede dan Pangrango di Jawa Barat telah memakan korban jiwa sebanyak 34 orang.
Selanjutnya, dari 4000 orang yang berusaha mendaki puncak Everest sebagai puncak gunung tertinggi di dunia, hanya 400 orang yang berhasil mencapai puncak dan sekitar 100 orang meninggal.
Rata – rata kecelakaan yang terjadi pada pendakian dibawah 8000 m telah tercatat sebanyak 25% pada setiap periode pendakian.
Memang, mendaki gunung memiliki unsur petualangan. Petualangan adalah sebagai satu bentuk pikiran yang mulai dengan perasaan tidak pasti mengenai hasil perjalanan dan selalu berakhir dengan perasaan puas karena suksesnya perjalanan tersebut.
Perasaan yang muncul saat bertualang adalah rasa takut menghadapi bahaya secara fisik atau psikologis. Tanpa adanya rasa takut maka tidak ada petualangan karena tidak ada pula tantangan.
Resiko mendaki gunung yang tinggi, tidak menghalangi para pendaki untuk tetap melanjutan pendakian, karena para pendaki gunung memiliki kecenderungan sensation seeking ( pemburuan sensasi ) tinggi. Para sensation seeker menganggap dan menerima risiko sebagai nilai atau harga dari sesuatu yang didapatkan dari sensasi atau pengalaman itu sendiri.
Pengalaman – pengalaman yang menyenangkan maupun kurang menyenangkan tersebut membentuk self – esteem ( kebanggaan / kepercayaan diri ).
Pendaki gunung legendaris asal Inggris, Sir George Leigh Mallory, kerap menjawab pendek pertanyaan mengapa ia begitu “tergila – gila” naik gunung. “Because It Is There” ujarnya. Selain jawaban itu, masih banyak alasan mengapa seseorang mendaki gunung atau menggeluti kegiatan petualangan lainnya.
Anggota – anggota kelompok pecinta alam di Indonesia contohnya. Mereka punya alasan lebih panjang dari Mallory. “Nasionalisme tidak dapat tumbuh dari slogan atau indoktrinasi. Cinta tanah air hanya tumbuh dari melihat langsung alam dan masyarakatnya. Untuk itulah kami naik gunung“.
Bagaimanapun, gunung dengan rimba liarnya, tebing terjal, udara dingin, kencangnya angin yang membuat tulang ngilu, malam yang gelap dan kabut yang pekat bukanlah habitat manusia modern.
Bahaya yang dikandung alam itu akan menjadi semakin besar bila pendaki gunung tidak membekali diri dengan peralatan, kekuatan fisik, pengetahuan tentang alam, dan navigasi yang baik. Tanpa persiapan yang baik, naik gunung tidak bermakna apa – apa.
Alangkah indah dan semaraknya alam serta lingkungan pendaki gunung apabila ada hal menarik lain, mengapa mendaki gunung. Apakah itu?
Yang mencintai udara jernih
Yang mencintai terbang burung – burung
Yang mencintai keleluasaan & kebebasan
Yang mencintai Bumi
Mereka mendaki ke puncak gunung – gunung
#24 Desember 1969_Sanento Yuliman_mengantar kepergian Gie#
Source: Belantara Indonesia
Lingkungan Mendaki Gunung Bukan Habitat Manusia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar