Pecinta alam banyak yang justru lebih rajin ke gunung, sungai dan tebing daripada menentang Undang – undang yang berimplikasi merusak alam, melawan pelaku pencemaran atau bahu membahu menyelamatkan satwa liar yang sekarat.
Padahal Soe Hok Gie yang merupakan ”kakek moyang” pecinta alam adalah demonstran tulen yang peduli dan berani melawan penguasa. Artinya pecinta alam sebenarnya punya ”gen” pejuang gigih yang tanpa pamrih. Namun, pecinta alam malah terkesan sebagai penikmat alam. Bukan sebagai. pecinta yang ”tulus dan penuh kasih sayang”.
Tentu banyak faktor yang membuat pecinta alam terkesan seperti itu. Salah satunya adalah ketika Orde Baru di tahun 1978 / 79 secara paksa menerapkan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus / Badan Koordinasi Kemahasiswaan ( NKK/BKK ). Maka pada saat itu pula daya kritis mahasiswa untuk mengkritik kebijakan pemerintahan Suharto mulai dibuat tak berdaya.
Karena konsep yang sekilas pandang “hanya” menata Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, sebenarnya punya agenda tersembunyi,yaitu menjauhkan mahasiswa dari aktivitas politik agar kekuasaan Suharto aman tanpa pengusik.
Agenda ini kemudian dibungkusdengan menanamkan doktrin bahwa : tugas mahasiswa adalah belajar sesuai dengan disiplin ilmu. Mahasiswa tak usah berpolitik karena politik tak boleh masuk kampus. Lagipula, kalau berpolitik, akan telat wisuda. Mahasiswa ideal adalah yang rajin kuliah, lulus dalam waktu singkat dan setelah wisuda cepat dapat kerja.
Akibat tatanan baru serta intens-nya Orde Baru mencekokicivitas academika dengan doktrin itu, maka lembaga kemahasiswaan di Fakultas – Badan Perwakilan Mahasiswa ( BPM ) Senat Mahasiswa ( SM ) beserta unit kegiatan dibawahnya – aktivitasnya hanya berkutat memandang, mengkaji lalu mengaitkan segala realias masyarakat dengan disiplin ilmunya semata dan tanpa melibatkan ada ”indikasi kesalahan Orde Baru” di dalamnya.
Unit Kegiatan Mahasiswa ( UKM ) tingkat Universitas juga seperti itu. Beraktivitas sesuai judul lembaganya saja. Unit Seni misalnya, hanya mengurus kegiatan seni. Aktivis Penerbitan mahasiswa, aktivitasnya tak jauh dari sekedar belajar menulis artikel, membuat berita singkat yang jinak, lantas menjadikannya majalah, koran kampus atau buletin.
Begitu pula dengan lembaga Mahasiswa Pecinta Alam ( Mapala ) baik yang di Fakultas ataupun di level Universitas, sebagian besar porsi kegiatannya berbentuk aktivitas fisik di alam bebas. Sedangkan bhakti sosial dan penghijauan lebih tampak sebagai menu tambahan. Itupun cukup jarang dilakukan. Diskusi panas membahas politik lingkungan jauh lebih jarang lagi. Bahkan boleh dikata tak ada. Kendati demikain, perkembangan pecinta alam, relatif bagus.
Kegiatan pecinta alam tak lagi sebatas mendaki gunung.Pecinta alam mulai mengenal panjat tebing ( rock climbing ) dan dinding ( wall climbing ). Arung jeram ( rafting ), Penelusuran gua ( caving ) dan lain sebagainya. Lomba lintas alam, kompetisi orientering, ekspedisi dalam skala besar kerap digelar. Nyaris tak ada gunung, tebing, gua, hutan rimba, sungai di Indonesia yang belum didatangi pecinta alam.
Pecinta alam Indonesia juga mulai mendaki gunung es di luar negeri. Gagasan mendaki tujuh puncak benua ( Seven summit ) secara bertahap direalisasikan. Media cetak pun sering menjadikan aktivitas pecinta alam sebagai menu utama dan publik gemar membacanya.
Pertumbuhan klub atau Perhimpunan Pecinta Alam ( PPA ) juga tinggi.Hampir semua Perguruan Tinggi di Indonesia ada Mapala. Siswa SLTA pun tak mau ketinggalan mendirikan organisasi Siswa Pecinta Alam ( Sispala ). Di luar institusi pendidikan, PPAjuga banyak muncul. Tetapi, karena Mapala merupakan pelaku paling aktif sekaligus kantong massa pecinta alam terbesar, maka pola pikir Mapala lebih dominan mewarnai atmosfir pecinta alam di Indonesia.
Memang tak semua PPA itu mengerti makna hakiki pecinta alam. Tak sedikit pula yang mendirikan PPA lantaran mengikuti trend semata. Banyak juga yang cuma mengaku – ngaku pecinta alam. Mereka yang “mendadak pecinta alam” inilah yang kesana kemari mendaki gunung hanya untuk mengejar pengakuan sebagai pecinta alam. Padahal mereka tidak mencintai alam.
Situasi itu akhirnya menjadi masalah tersendiri bagi pecinta alam beneran. Karena dari sanalah kemudian pecinta alam mendapat stigma sebagai kelompok hura – hura, semau gue dan datang ke alam hanya untuk menikmati alam demi kepuasan pribadi belaka dengan cara merusak alam. src
Source: Belantara Indonesia
Dimanakah Engkau Para Pecinta Alam?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar