Gie, panggilan akrab Soe Hok Gie dilingkungan para pecinta alam atau juga Soe bagi para sahabat dekatnya sewaktu di UI memang dikenal sebagai sosok intelektual muda yang kritis. Gie gemar berdiskusi, berorganisasi, membaca, periang, lincah dan mudah bergaul.
Tetapi tahukah Anda, bahwa hati pria kelahiran Jakarta, 17 Desember 1942 sempat terpikat pada sejumlah ‘kembang kampus‘ di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Salah satu yang sempat menarik perhatian Gie adalah Ker alias Nurmala Kartini Pandjaitan. Ker yang kini dikenal dengan nama Kartini Sjahrir itu mengisahkan kedekatannya dengan Gie dalam buku berjudul ‘Soe Hok Gie: Sekali Lagi‘.
Di dalam buku tersebut Ker blak – blakan menyampaikan kisahnya yang menjadi salah satu bagian penting percintaan Gie selama di Rawamangun dan Salemba. Dia sempat protes pada Gie saat namanya di dalam buku ‘Catatan Seorang Demonstran‘ disamarkan menjadi Sunarti.
Ker mengaku pertama kali bertemu Gie usai tamat dari sebuah sekolah menengah atas berasrama. Saat itu Gie berusia 26 tahun dan Ker, 18 tahun. Lepas dari sekolah berasrama dan masuk lingkungan kampus yang dinamis membuat Ker laksana burung lepas dari sangkarnya.
Mereka pun kian akrab. Gie kerap membuat Ker terpingkal – pingkal ketika bahan candaanya ‘menyenggol’ urusan bawah puser. Mereka sering duduk berduaan, ngobrol, kadang di warung senggol kampus Universitas Indonesia, kadang di ruangan Gie.
Ketika makan soto ayam di kawasan Salemba, Gie selalu bersikap romantis. Misalnya dengan diam – diam menaruh hati ayam di mangkok Ker. Lalu, Gie yang dijuluki ‘kantong nasi‘, karena tak sungkan menghabiskan makanan sisa Ker.
“Boleh saya mengaku, saya senang kok Gie kamu makan sisa makanan saya, meskipun mungkin karena kamu lapar saja. Tapi saya melihatnya sebagai tanda kedekatan kamu,” kata Ker dalam surat terbuka di buku ‘Soe Hok-Gie: Sekali lagi‘.
Meski dekat, ketika itu tak ada status pacaran di antara mereka. Pasalnya Gie masih naksir perempuan lain. Selain makan, nonton film dan nonton pagelaran di Taman Ismail Marzuki di Cikini, Gie juga membawa Ker dalam petualangan.
Suatu waktu pada Mei 1969, demi merayakan kaul menjadi sarjana, Gie mengajaknya mendaki Gunung Ciremai. Ketika itu, menurut Ker, rambutnya yang panjang itu digulung sendiri oleh Gie supaya ia terlihat seperti laki – laki.
Pada masa – masa ini, Gie sedang galau karena tengah putus cinta. “Saya sedih melihat betapa patahnya hati kamu Gie, karena itu dengan senang hati saya bersedia menjadi “permen karet” kamu. Dengarin kamu curhat sepanjang jalan. Saya menyayangi kamu,” tulis Ker dalam surat keduanya.
Pulang dari mendaki gunung, secara mengejutkan Gie tiba – tiba memberi gelar ‘Janda Gunung Ceremai’ kepada Ker. Entah apa maksud gelar yang diberikan Gie. Ker juga sama sekali tak punya firasat akan datangnya maut yang menjemput Gie, tujuh bulan kemudian. Sebaliknya, ia hanya tertawa saja dengan gelar aneh itu.
Hari – hari berlanjut. Hubungan Gie dan Ker makin intens dan romantis. Juli tahun yang sama, ketika ia pulang ke Rumbai, Riau, Gie membekalinya sebuah buku harian warna biru. Buku ini kemudian menjadi sahabatnya selama mereka berjauhan. Tapi Gie juga sering menyuratinya, tentu dengan embel – embel yang kocak.
Pernah ia menempelkan kacang di dalam suratnya ketika ia bercerita tentang es kacang yang populer di rumahnya, di Kebun Jeruk. Lain waktu, aktivis yang suka mengkritik pemerintah itu juga menggambar telapak tangannya yang asli agar Ker bisa menyalaminya setiap saat. src
Source: Belantara Indonesia
Kisah Cinta Gie Dan 'Janda Gunung Ciremai'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar