Mungkin kita ingat kalimat yang tak asing lagi bagi para pendaki gunung berikut ini, “It is not the mountain we conquer, but ourselves…” Sebuah quote dari Sir Edmund Hillary, seorang pendaki New Zealand sekaligus manusia pertama yang menginjakkan kaki di puncak gunung tertinggi dunia; Gunung Everest. Kalimat yang singkat namun memiliki makna yang sangat dalam.
Sesungguhnya saat kita berhasil mencapai puncak – puncak gunung kita tidak sedang menaklukkan gunung karena memang kita tidak akan sanggup menaklukkannya. Saat kita mendaki gunung kita hanyalah seperti semut – semut kecil yang sedang melewati jalan – jalan kecil yang terdapat di badan – badan gunung.
Jalan – jalan yang terus membawa kita hingga sampai menuju puncak. Kita hanya melewatinya. Saat kita beranggapan bahwa kita sudah menaklukkan gunung, maka seolah – olah kita menganggap bahwa gunung seperti musuh yang memang harus ditaklukkan. Padahal gunung adalah tempat indah yang menghadirkan sejuta ketentraman dan kedamaian. Banyak hal – hal indah disana yang tidak kita temui dalam rutinitas keseharian kita.
Banyak bukti bahwa kita tidak akan pernah bisa menaklukkan gunung khususnya dan alam pada umumnya. Ketika badai di gunung menghantam, apa yang bisa kita lakukan? Tidak ada, selain berdoa, berlindung, atau menunda rencana pendakian.
Ketika gas beracun datang menyerang, apa yang bisa kita lakukan? Kita mungkin pernah mendengar pendaki meninggal karena menghirup gas beracun.
Kalaupun kita selamat dari berbagai bahaya saat mendaki gunung, sesungguhnya itu semua karena seizin – Nya. Memang persiapan yang matang sebelum mendaki gunung adalah hal penting untuk menunjang keselamatan saat mendaki gunung, namun semuanya ujung – ujungnya tetap terjadi dengan seizin – Nya.
“It is not the mountain we conquer, but ourselves…” Bukan gunung yang kita taklukkan, tapi diri kita sendirilah yang mesti kita taklukkan.
Ketika terbersit rasa sombong karena berhasil mencapai puncak, maka rasa itulah yang harus dikikis segera. Ketika ada rasa bangga saat melangkahkan kaki menyusuri hutan – hutan di gunung yang lebat dan ekstrim, maka rasa itulah yang mesti cepat – cepat dihilangkan.
Ketika diri merasa paling kuat dan paling cepat dan tangguh saat mendaki gunung, maka itulah saatnya kita segera mengintrospeksi diri.
Ketika kita merasa keren karena membawa keril yang besar dihadapan banyak orang, maka itulah yang harus segera ditekan.
Ketika kita merasa bahwa pendaki – pendaki lain terlalu lemah dalam mendaki gunung, maka itu saatnya berhenti sejenak menenangkan diri dan berbicara pada diri sendiri untuk segera berhenti meremehkan pendaki lain.
Ketika kita berpikiran bahwa kitalah yang paling paham tentang seluk – beluk gunung dan berbagai hal tentang kegiatan alam bebas, maka ajaklah diri untuk kembali berdiskusi.
Ketika kita merasa yang paling jago mendaki gunung karena banyaknya gunung yang sudah didaki, maka itu pertanda bahwa masih ada sesuatu yang harus kita benahi.
Hilangkan segera rasa – rasa itu. Hilangkan dalam setiap langkah kaki, dalam setiap tarikan nafas, sesering mungkin, dibawah hijaunya hutan, dibawah gerimis yang membasahi perjalanan, dibawah hamparan awan yang setia menaungi, di atas pasir yang tak henti berbisik.
Rasa – rasa itulah yang harus segera ditaklukkan. Mengapa? Alasannya sederhana saja, saat kita mendaki gunung maka sebenarnya kita sedang terekspos dengan berbagai bahaya yang setiap saat dapat mengancam jiwa kita. Sematang apapun persiapan fisik dan pemahaman kita tentang teknik dan seluk beluk gunung, tetap Tuhan yang akan menentukan segalanya.
Ada sekian pendaki hebat diluar sana yang akhirnya kembali pada Sang Pencipta saat mendaki gunung. Artinya jika sesuatu memang sudah ditakdirkan terjadi pada diri kita pada saat mendaki gunung, maka jangan biarkan sesuatu itu terjadi saat kita berada dalam perasaan paling hebat, paling kuat dan paling tahu dalam berbagai hal tentang mendaki gunung.
Bukan gunung yang kita taklukkan tapi diri kitalah yang mesti kita taklukkan. Saat ada teman sendirian dibelakang yang sedang mengalami kesulitan, maka saat itulah kita akan dihadapkan pada dua pilihan. Akankah kita terus melaju menuju pos yang masih jauh didepan atau puncak yang sudah hampir di depan mata atau justru membiarkan teman tersebut dalam kesusahan? Saat diri mulai merasa lelah dan putus asa ketika tersesat, maka rasa putus asa itulah yang harus ditaklukkan.
Mendaki gunung mengajarkan banyak hal tentang sikap, ego, kebersamaan, kelemahan kita, semangat, keyakinan dan banyak hal lainnya. Jika kita memahami lebih jauh lagi bahwa kesukaan dan ketagihan kita untuk mendaki gunung sebenarnya karena ada semacam kedekatan dan keterikatan antara manusia dengan Sang Pencipta melalui media yang bernama alam.
Kita suka dan bahagia melihat pemandangan alam di gunung karena lewat alam ditanamkan ketentraman dan kesejukan kedalam hati kita. Lewat alam kita diajarkan bahwa kita hanyalah makhluk kecil dan segala permasalahan keseharian yang kita hadapi adalah hal yang kecil.
Kita seolah – olah diajarkan bahwa ada hal – hal yang jauh lebih menarik “diluar sana”, yang mungkin luput dari perhatian kita karena kesibukan sehari – hari. Puncak adalah tujuan fisik dari mendaki gunung, sedangkan nilai – nilai yang tersirat saat mendaki gunung adalah tujuan bathinnya. viewindonesia
Source: Belantara Indonesia
Gunung Tak Akan Bisa Kita Taklukkan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar