Anda pernah mendengar atau justru hapal dengan lagu “Desaku Yang Kucinta” ? Lagu tersebut sangat terkenal sekali di era Sekolah Dasar era tahun 1980 an dan 1990 an dan mungkin juga seharusnya hingga era kini. Lagu khas dari Indonesia karya L. Manik yang manis tentang suasana pedesaan yang mengundang anak – anak untuk menyukainya.
Gereja Romerswill, Swiss |
Inilah liriknya:
Desaku yang kucinta, pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku
Tak mudah kulupakan, Tak mudah bercerai
Selalu ku rindukan, desaku yang permai
Desaku yang kucinta, pujaan hatiku
Tempat ayah dan bunda, dan handai taulanku
Tak mudah kulupakan, Tak mudah bercerai
Selalu ku rindukan, desaku yang permai
Tetapi bagaimana apabila lagu tersebut di kumandangkan di negara yang jauh dari Indonesia? Ada yang tak biasa terdengar di dalam sebuah gereja di desa Roemerswil, Lucerne, Swiss tengah. Jika biasanya paduan suara gereja tua itu mengumandangkan lagu tentang kebesaran Tuhan, Sabtu 16 November 2013 petang itu, justru bergema lagu berbeda, jauh dari belahan dunia lain.
“Malam ini memang lain, paduan suara gereja Roemerswil sedang merayakan ulang tahun ke – 100 nya, biarlah kami memberikan kejutan,” ujar Priska Fuchs – Kathriner, Presiden Paduan Suara Gereja Roemerswil, sebelum konser dimulai.
Kejutan datang pada repertoir keempat, ketika Adalbert Bircher, ketua paduan suara Gereja Hohenrain, tampil sebagai konduktor. Setelah dentingan silafon dipadu piano, muncul sebuah lagu berbahasa Indonesia “Dalam Perjalanan“.
Meski melodinya sama sekali tidak dikenal, tetapi 30 – an orang anggota paduan suara Roemerswil dan Hohenrain itu bernyanyi dalam bahasa Indonesia. “Melodinya memang tak akan dikenal di Indonesia, ini lagu ciptaan kami sendiri,” ujar Adalbert.
Menariknya, mereka bernyanyi sama sekali tidak menggunakan teks, sudah layaknya seperti sekelompok orang Indonesia yang menyanyikan lagu pujaannya di luar kepala.
Kejutan kedua terjadi pada lagu berikutnya. Intro piano yang dikumandangkan Andreas Wuerst memang juga tak begitu dikenal. Tetapi, ketika paduan suara ini memulai lagunya, ingatan langsung terbang jauh ribuan kilometer ke Tanah Air.
Mereka ternyata menyanyikan lagu “Desaku yang Kucinta“, lagu klasik Indonesia yang sebagian besar masyarakat Indonesia sudah hafal di luar kepala. Sekali lagi, mereka juga melantunkannya tanpa melihat teks.
“Kami latihan berbulan bulan untuk itu, tiap Selasa malam berkumpul untuk latihan,“ tutur Andreas Wuerst, pimpinan Paduan Suara Gereja Roemerswil. Meskipun pada mulanya cukup sulit, imbuhnya, pada akhirnya teks “Desaku yang Kucinta” bisa dihafalkan di luar kepala. Kalau kita latihan tekun, semua pasti akan tercapai,“ imbuh Adalbert.
Suasana syahdu begitu terasa saat lagu itu dilantunkan. Kalimat – kalimat yang meluncur dari paduan suara itu seketika mengingatkan keindahan desa – desa di Tanah Air. Salah seorang penonton asal Indonesia bahkan tampak menyeka air matanya karena terharu dengan suasana yang dibangun konser lagu – lagu Indonesia itu.
“Konsernya sangat bagus, suara penduduk desa ini patut diacungi jempol. Kami berterima kasih atas kesediaannya mengggunakan lagu ini di sini,” kata Oktavia Maludin, sekretaris pertama KBRI Bern.
Dewa Budjana, gitaris GIGI, juga tak bisa menahan haru ketika ditunjukkan video konser unik tersebut. “Bagus sekali, bagus sekali,“ kata gitaris asal Klungkung, Bali, ini.
BERAWAL DARI LIBURAN
Pemilihan dua lagu berbahasa Indonesia itu, sebagaimana diungkapkan Adalbert, bermuasal dari liburannya ke Indonesia dua tahun silam. “Kami menjumpai masyarakat yang sangat ramah, terbuka, dan siap membantu,” kenang Adalbert.
Beberapa nilai kehidupan masyarakat Indonesia, akunya, juga mengagumkan. “Mereka hidup dalam banyak keterbatasan, setidaknya dibandingkan Swiss, tapi bisa mengatasinya dengan baik,” katanya.
Setelah liburan yang mengesankan di Indonesia itu, sekembalinya ke Swiss, ia pun mulai mengutak – atik pianonya. “Saya mencoba membuat lagu Indonesia, akhirnya terciptalah lagu ‘Dalam Perjalanan‘,” katanya.
Agar liriknya lebih sempurna, ia pun meminta salah satu warga Indonesia di Swiss untuk mengoreksinya. “Lagi – lagi orang Indonesia yang di Swiss pun ringan tangan untuk membantu,” katanya.
Pilihan lagu “Desaku yang Kucinta“, katanya, juga atas rekomendasi orang Indonesia di Swiss. “Liriknya cocok, tentang keindahan desa, keluarga, dan handai taulan, jadi memang pantas dinyanyikan di konser ini,” katanya.
Pada mulanya tidak mudah membujuk 30 anggota Paduan Suara Desa Roemerswil dan Hohenrain menyanyikan lagu asing. “Tapi saya terus membujuk mereka, lama – lama mau juga,“ kata Adalbert.
Musik Indonesia, tidak terkecuali instrumennya, katanya, cukup menawan. “Baik yang dari bambu maupun besi, suaranya menenteramkan hati, meskipun mereka lebih banyak bermain di nada pentatonis,” aku Adalbert.
Setelah sukses mengumandangkan dua lagu Indonesia di Roemerswil, Adalbert berencana menggelar konser serupa di desa Hohenrain. “Kali ini akan ditambahkan lagi satu lagu Indonesia, yakni ‘Pelangi – Pelangi’,” janjinya.
Lagu tentang keindahan alam ini pun, akunya, akan dinyanyikan paduan suara anak – anak desa Hohenrain. “Sekarang terjadi demam lagu ‘Pelangi – Pelangi’ di sini,“ kata Adalbert.
Roemerswil adalah desa kecil di lembah Seetal, Swiss Tengah, yang hanya berpenduduk 1.600 jiwa. Sementara desa Hohenrain, meski lebih besar, hanya berpenduduk 2.500 jiwa. Dua desa ini, yang hanya terpisah jarak sekitar delapan kilometer, dikelilingi ladang jagung, hutan mungil, dan padang rumput.
“Mendengarkan lagu Indonesia di desa kecil nan tenteram, rasanya gimana gitu,“ kata salah seorang penonton asal Indonesia. src
Mau mendengarkan bagaimana lagu “Desaku yang Kucinta” ala Swiss? Silakan nikmati video di bawah ini:
Source: Belantara Indonesia
Lagu "Desaku Yang Kucinta" Ala Koor Gereja Swiss
Tidak ada komentar:
Posting Komentar