Walaupun memiliki keterbatasan dalam hal melihat, para tunet ( tunanetra ) ini tidak luntur semangatnya untuk berpetualang. Hal ini dengan dibuktikan mereka mendaki Gunung Papandayan, dengan tidak menjadikan keterbatasan sebagai penghalang. Sebuah pencapaian luar biasa.
( Pendakian para Tunet dibantu relawan. Foto: Fitri Yulianti ) |
Tarini, Ketua Fellowship of Netra Community ( Fency ) mengatakan, kegiatan pendakian Gunung Papandayan dilakukan berdasarkan keinginan dari anggota komunitas yang biasa disebut Tunet ini. Pendakian dilakukan pada 1 – 3 November lalu, dengan melibatkan delapan anggota Tunet, 24 relawan, dan lainnya. Total sekira 40 orang mengikuti kegiatan pendakian dengan menggunakan dua minibus.
“Tunet yang minta naik gunung, lalu kita carikan medan gunung yang mudah dan tidak terlalu terjal, mengingat keterbatasan mereka,” kata Tarini.
Tarini mengatakan bahwa dengan bantuan para relawan, para Tunet akhirnya berhasil mewujudkan keinginan untuk berpetualang di alam. “Para relawan ditugaskan untuk membantu mereka berjalan atau menarasikan apa yang tidak para Tunet lihat, misalkan ada batu besar atau jurang,” tambahnya.
Pendakian pun memakan waktu lebih lama karena relawan menyesuaikan kemampuan berjalan para Tunet. “Kalau pendakian biasanya ditempuh tiga jam, bersama mereka jadi sekitar enam jam. Di sini juga sebagai penguji kesabaran serta menahan ego dari para relawan untuk tidak berambisi sampai puncak duluan,” ujarnya.
Di antara delapan Tunet yang mendaki Gunung Papandayan, hanya Satryo yang berhasil mencapai puncak. Lainnya tidak berhasil karena kondisi fisiknya tidak memungkinkan.
Para Tunet bersemangat ingin menggapai Gunung Papandayan ( Foto: dok. Fency ) |
Meski tidak bisa melihat, Satryo tidak patah semangat untuk menggapai Gunung Papandayan bersama Fency. Seorang relawan Fency sempat memberitahukannya informasi tentang kegiatan pendakian Gunung Papandayan, tanpa ragu dia langsung mendaftar. Ini merupakan pendakiannya yang kedua kali.
Dia mengaku tidak menemui kesulitan selama melakukan pendakian karena para relawan selalu berada di sisinya untuk menunjukkan jalan serta menarasikan apa yang tak bisa dilihatnya.
“Pertama saya mendaki Gunung Salak, cuma enggak sampai puncak karena waktu itu cuacanya buruk. Nah, pas ke Papandayan saya langsung sujud syukur begitu sampai atas,” tutur guru privat ini.
Sebelum mendaki gunung setinggi 2.665 Mdpl itu, Satryo menyiapkan fisiknya dengan jogging setiap pagi dan sering berjalan ke rumah murid les privatnya. Ini intens dia lakukan tiga pekan sebelum pendakian. Hebatnya, selama pendakian dia bahkan hanya memakai sepatu kets yang biasa dipakai untuk bekerja, bukan sepatu khusus mendaki gunung.
“Saya berterima kasih kepada relawan yang menuntut. Saya dipegangi meski bergantian dan dinarasikan ketika ada batu atau harus lompat sampai akhirnya saya mencapai puncak Gunung Papandayan,” imbuhnya.
Satryo memang menyenangi kegiatan alam. Menurutnya, alam mengajarkan kemandirian. Sebenarnya, dia dan para pendaki sempat tersasar saat mencari jalan pulang. Tali putih yang mereka jadikan tanda ternyata hilang.
“Mungkin karena kita keasyikan foto – foto di atas. Tapi di gunung, kita memang tidak boleh diam. Harus cari jalan sendiri dan tidak boleh bergantung pada petugas patroli,” tutupnya. Target selanjutnya, Satyro akan mendaki Gunung Semeru.
Fency merupakan suatu komunitas sosial yang menjadi partner Yayasan Mitra Netra dalam membantu penyediaan buku – buku Braille serta sebagai jembatan teman – teman tunanetra untuk melakukan perjalanan. Satryo sendiri merupakan tunanetra bimbingan Yayasan Mitra Netra yang berkantor di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan. src
Source: Belantara Indonesia
Para Tunet Menggapai Puncak Papandayan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar